Keutuhan keluarga kerapkali hancur karena iri dengki. Para
Kurawa selalu iri dengan adik-adik sepupu mereka, Pandawa. Alam pikir
Kurawa selalu dipenuhi rencana untuk menyingkirkan Pandawa yang berbakat
kanuragan dan berhati lurus. Jadi, jika ada tingkah polah Kurawa yang
bermanis-manis kepada Pandawa sebenarnya itu hanyalah sebuah tipu daya.
Kurawa masih saja iri dengan Pandawa sepeninggal Negeri Astina dibagi
dua untuk Kurawa dan Pandawa. Satu tetap menjadi Astina dengan
Duryudana menjadi raja, si sulung Kurawa. Yang satunya dinamai Negeri
Amarta dengan Yudhistira si sulung Pandawa yang menjadi raja. Sekali
lagi, Kurawa menyusun rencana untuk menyingkirkan Pandawa. Rencana untuk
berperang urung dilakukan karena Kurawa kalah ilmu kanuragan dibanding
Pandawa. Jika mau, anak panah Arjuna si Pandawa ketiga mampu menghabisi
seluruh Kurawa yang berjumlah seratus orang dengan sekali tarikan
gendewa. Atau satu hentakan telapak kaki Bima sang Pandawa kedua mampu
merobohkan istana Astina milik Kurawa.
Tak ada cara lain selain tipu daya. Patih licik Astina, Sangkuni
mengusulkan rencana untuk mengajak Pandawa main dadu. Kala itu, undangan
main dadu dari seorang raja ke raja lain adalah sebuah kehormatan, jadi
tak mungkin ajakan itu ditolak. Begitu pikir Sangkuni. Kurawa pun
setuju. Tentu saja dadu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga selalu
menuruti tebakan Kurawa. Maka dibuatlah undangan bermain dadu kepada
Pandawa.
Undangan itu sampailah ke Pandawa. Arjuna menaruh curiga.,” Kakanda
Yudhistira, tak biasanya para Kakanda Kurawa berbaik hati begini rupa?
Hamba curiga.” Ia bertanya kepada Yudhistira. “Para kakanda Kurawa
selalu berniat buruk pada kita,” sambung Bima. Namun Yudhistira adalah
satria yang bijaksana. Hatinya lurus dan tanpa prasangka. Ia berpikir
undangan itu adalah sebuah kehormatan bagi Pandawa dan harus diterima.
“Undangan ini harus diterima, ini adalah sebuah kehormatan. Mungkin para
Kakanda Kurawa sudah lurus hatinya. Para adinda harus percaya kebaikan
takkan takluk pada kejahatan dan angkara murka,” jawab Yudhistira
mengakhiri pembicaraan. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa menuruti
kehendak junjungan mereka, Yudhistira.
Boyonganlah para Pandawa ke Negeri Astina. Drupadi, istri Yudhistira
yang ia sunting dari Negeri Pancala diajak serta. Tak lupa harta dan
perhiasan sebagai taruhan dibawa pula. Sampailah mereka ke Negeri Astina
disambut para Kurawa yang nampak ramah tapi dalam hati tersenyum
menyeringai karena angkara murka. Dimulailah permainan dadu setelah
jamuan makan dan keakraban.
Pada awal-awal permainan, Pandawa dan Kurawa saling berganti
kemenangan. Suasana terlihat akrab dan diselingi canda tawa. Tiba-tiba
Duryudana berkata,” Adinda Pandawa, tak serulah permainan kita dengan
taruhan yang kecil. Beranikah adinda bertaruh dengan taruhan yang lebih
besar?” Pandawa tertegun. “Apa maksud Kakanda Duryudana?” tanya
Yudhistira. “Bagaimana bila kita mempertaruhkan negeri kita, jika kali
ini adinda menang maka aku serahkan Astina kepada adinda namun jika aku
yang menang maka aku berhak memiliki Negeri Amarta. Pandawa kaget bukan
kepalang, mereka mulai tersadar jika sudah masuk perangkap Kurawa. Namun
mereka tak mampu menolak. Ajakan bermain dadu adalah sebuah kehormatan.
Seorang ksatria tak boleh melawan kehormatannya. Sekarang mereka hanya
bisa pasrah menghadapi keadaan. “Bolehlah, kakanda, tapi apa maksud
Kakanda Duryudana sebenarnya?” tanya Yudhistira. “Aku hanya berniat
membuat permainan kita makin seru saja adinda,” jawab Duryudana dengan
ramah namun menyimpan kelicikan.
Dilanjutkanlah permainan dadu mereka dengan mempertaruhkan negeri
Astina dan Amarta. Dan benar, setelah dadu dikocok dan dijatuhkan angka
yang muncul memihak Kurawa. Wajah para Pandawa pucat bukan kepalang. Di
sisi lain para Kurawa tertawa tergelak dan mulai menampakkan watak
angkara murka mereka. Disertai senyum licik Patih Sangkuni. “Jadi,
Negeri Amarta menjadi milikku sekarang,” kata Duryudana sambil tertawa.
“Apakah adinda sanggup untuk melanjutkan permainan?” tanya Duryudana.
“Tapi aku sudah tak memiliki harta apapun kakanda,” jawab Yudhistira
terbata-bata. “Bukankah adinda, masih memiliki Sadewa? Ia bisa dijadikan
taruhan.” tanya Duryudana licik. Makin kagetlah Pandawa. Tak mungkin
persaudaraan mereka dipertaruhkan. Namun kehormatan adalah di atas
segala-galanya. Tiba-tiba Sadewa berkata,” Hamba rela dipertaruhkan demi
kehormatan.” Yudhistira tertegun. “Benarkah adinda berkata demikian?”
tanya Yudhistira tak percaya. “Benar kakanda. Semoga setelah ini kita
bisa menang dan berkumpul kembali,” jawab Sadewa tegar. Maka
dipertaruhkanlah Sadewa. Sudah dapat dipastikan Kurawa kembali menang
dan Sadewa jatuh menjadi budak Kurawa. Permainan dadu terus berlanjut
dengan kemenangan Kurawa. Satu persatu anggota Pandawa jatuh ke tangan
Kurawa. Di antara para Pandawa, Bimalah yang paling geram terhadap
Kurawa. Namun ia tetap setia kepada keksatriannya, kehormatannya.
Kini tinggalah hanya Yudhistira dan istrinya, Drupadi. Suasana riuh
dengan gelak tawa Kurawa yang makin angkara murka. “Masih sanggupkah
adinda melanjutkan permainan dadu ini?” tanya Duryudana. “Hamba sudah
tak memiliki apa-apa kecuali Drupadi sebagai istri. Apakah kakanda tak
memiliki malu untuk meminta Drupadi sebagai taruhan?” tanya Yudhistira.
“Ini hanya sebuah permainan adinda, maka kuminta Drupadi menjadi selir
Kurawa jika aku menang,” kata Duryudana yakin dan diiringi gelegar tawa
Kurawa yang makin memburu, makin licik.
Drupadi tak rela, ia meminta pertanggungjawaban suaminya, Yudhistira.
“Benarkah kakanda mau mempertaruhkan hamba? Segala-galanya telah
kuperbuat demi kakanda. Apakah kakanda rela, kemuliaan hamba direnggut
oleh Kurawa?” tangis Drupadi. Namun muka Yudhistira hanya tertunduk. Tak
mampulah ia memandang Drupadi kekasihnya. Demi kehormatannya segalanya
harus ia korbankan. Makin pedihlah hati Pandawa lainnya, Bima, Arjuna,
Nakula dan Sadewa. Hati mereka sepedih Yudhistira menghadapi situasi
dilema.
Dilanjutkanlah permainan dadu yang penuh tipu daya itu. Dan
terjadilah kekhawatiran Pandawa. Duryudana menang, dan berhaklah ia atas
Drupadi. Tiba-tiba muncullah Dursasana adik Duryudana menarik Drupadi.
Memang sedari tadi ialah yang paling menunggu kesempatan ini. Ia ingin
bercinta dengan Drupadi yang memang cantik jelita. Wajahnya dipenuhi
nafsu angkara murka, ia tarik Drupadi menuju peraduannya. Namun dengan
sekuat tenaga Drupadi menolak. Makin bernafsulah Dursasana. Dengan
tertawa angkara murka ia cabut penjepit yang menggelung rambut Drupadi
dan tergerailah rambut panjangnya. Tak cukup di situ ia lucuti pakaian
kebesaran Drupadi sehingga hanya tersisa selembar kain yang melilit
tubuhnya. Makin riuhlah suasana yang diwarnai dengan tawa nafsu kejam
Kurawa. Para Pandawa hanya bisa menangis pasrah melihat kejadian
memalukan itu.
Dursasana makin bernafsu, ia tarik kain yang melilit Drupadi. Jika
kain ini habis maka telanjanglah tubuh Drupadi. Makin geramlah Bima.
Rupanya Yang Maha Kuasa di khayangan tak berkenan atas ini.
Diberikanlah kain yang melilit Drupadi sebuah keistimewaan. Lilitannya
tak akan habis bila terus ditarik. Makin lelah dan marahlah Dursasana.
Iapun mengurungkan niatnya untuk mempermalukan Drupadi dan Pandawa.
Drupadi yang dendam karena kehormatannya telah dicoba direnggut
bersumpah, ia takkan menggelung rambutnya sebelum mandi keramas dengan
darah Dursasana. Kelak pada Perang besar Bharatayuda antara Pandawa dan
Kurawa, Dursasana mati di tangan Bima. Ia mengambil darah Dursasana
untuk diberikan kepada Drupadi.
Pemainan dadu dilanjutkan. Yudhistira akhirnya mempertaruhkan diri
sendiri. Ia kalah. Pandawa dan Drupadi menjadi budak Kurawa. Mereka
kemudian diasingkan ke hutan oleh Duryudana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar