Minggu, 17 Agustus 2014

Pandawa Kalah Main Dadu

Keutuhan keluarga kerapkali hancur karena iri dengki. Para Kurawa selalu iri dengan adik-adik sepupu mereka, Pandawa. Alam pikir Kurawa selalu dipenuhi rencana untuk menyingkirkan Pandawa yang berbakat kanuragan dan berhati lurus. Jadi, jika ada tingkah polah Kurawa yang bermanis-manis kepada Pandawa sebenarnya itu hanyalah sebuah tipu daya.
Kurawa masih saja iri dengan Pandawa sepeninggal Negeri Astina dibagi dua untuk Kurawa dan Pandawa. Satu tetap menjadi Astina dengan Duryudana menjadi raja, si sulung Kurawa. Yang satunya dinamai Negeri Amarta dengan Yudhistira si sulung Pandawa yang menjadi raja. Sekali lagi, Kurawa menyusun rencana untuk menyingkirkan Pandawa. Rencana untuk berperang urung dilakukan karena Kurawa kalah ilmu kanuragan dibanding Pandawa. Jika mau, anak panah Arjuna si Pandawa ketiga mampu menghabisi seluruh Kurawa yang berjumlah seratus orang dengan sekali tarikan gendewa. Atau satu hentakan telapak kaki Bima sang Pandawa kedua mampu merobohkan istana Astina milik Kurawa.
Tak ada cara lain selain tipu daya. Patih licik Astina, Sangkuni mengusulkan rencana untuk mengajak Pandawa main dadu. Kala itu, undangan main dadu dari seorang raja ke raja lain adalah sebuah kehormatan, jadi tak mungkin ajakan itu ditolak. Begitu pikir Sangkuni. Kurawa pun setuju. Tentu saja dadu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga selalu menuruti tebakan Kurawa. Maka dibuatlah undangan bermain dadu kepada Pandawa.
Undangan itu sampailah ke Pandawa. Arjuna menaruh curiga.,” Kakanda Yudhistira, tak biasanya para Kakanda Kurawa berbaik hati begini rupa? Hamba curiga.” Ia bertanya kepada Yudhistira. “Para kakanda Kurawa selalu berniat buruk pada kita,” sambung Bima. Namun Yudhistira adalah satria yang bijaksana. Hatinya lurus dan tanpa prasangka. Ia berpikir undangan itu adalah sebuah kehormatan bagi Pandawa dan harus diterima. “Undangan ini harus diterima, ini adalah sebuah kehormatan. Mungkin para Kakanda Kurawa sudah lurus hatinya. Para adinda harus percaya kebaikan takkan takluk pada kejahatan dan angkara murka,” jawab Yudhistira mengakhiri pembicaraan. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa menuruti kehendak junjungan mereka, Yudhistira.
Boyonganlah para Pandawa ke Negeri Astina. Drupadi, istri Yudhistira yang ia sunting dari Negeri Pancala diajak serta. Tak lupa harta dan perhiasan sebagai taruhan dibawa pula. Sampailah mereka ke Negeri Astina disambut para Kurawa yang nampak ramah tapi dalam hati tersenyum menyeringai karena angkara murka. Dimulailah permainan dadu setelah jamuan makan dan keakraban.
Pada awal-awal permainan, Pandawa dan Kurawa saling berganti kemenangan. Suasana terlihat akrab dan diselingi canda tawa. Tiba-tiba Duryudana berkata,” Adinda Pandawa, tak serulah permainan kita dengan taruhan yang kecil. Beranikah adinda bertaruh dengan taruhan yang lebih besar?” Pandawa tertegun. “Apa maksud Kakanda Duryudana?” tanya Yudhistira. “Bagaimana bila kita mempertaruhkan negeri kita, jika kali ini adinda menang maka aku serahkan Astina kepada adinda namun jika aku yang menang maka aku berhak memiliki Negeri Amarta. Pandawa kaget bukan kepalang, mereka mulai tersadar jika sudah masuk perangkap Kurawa. Namun mereka tak mampu menolak. Ajakan bermain dadu adalah sebuah kehormatan. Seorang ksatria tak boleh melawan kehormatannya. Sekarang mereka hanya bisa pasrah menghadapi keadaan. “Bolehlah, kakanda, tapi apa maksud Kakanda Duryudana sebenarnya?” tanya Yudhistira. “Aku hanya berniat membuat permainan kita makin seru saja adinda,” jawab Duryudana dengan ramah namun menyimpan kelicikan.
Dilanjutkanlah permainan dadu mereka dengan mempertaruhkan negeri Astina dan Amarta. Dan benar, setelah dadu dikocok dan dijatuhkan angka yang muncul memihak Kurawa. Wajah para Pandawa pucat bukan kepalang. Di sisi lain para Kurawa tertawa tergelak dan mulai menampakkan watak angkara murka mereka. Disertai senyum licik Patih Sangkuni. “Jadi, Negeri Amarta menjadi milikku sekarang,” kata Duryudana sambil tertawa.
“Apakah adinda sanggup untuk melanjutkan permainan?” tanya Duryudana. “Tapi aku sudah tak memiliki harta apapun kakanda,” jawab Yudhistira terbata-bata. “Bukankah adinda, masih memiliki Sadewa? Ia bisa dijadikan taruhan.” tanya Duryudana licik. Makin kagetlah Pandawa. Tak mungkin persaudaraan mereka dipertaruhkan. Namun kehormatan adalah di atas segala-galanya. Tiba-tiba Sadewa berkata,” Hamba rela dipertaruhkan demi kehormatan.” Yudhistira tertegun. “Benarkah adinda berkata demikian?” tanya Yudhistira tak percaya. “Benar kakanda. Semoga setelah ini kita bisa menang dan berkumpul kembali,” jawab Sadewa tegar. Maka dipertaruhkanlah Sadewa. Sudah dapat dipastikan Kurawa kembali menang dan Sadewa jatuh menjadi budak Kurawa. Permainan dadu terus berlanjut dengan kemenangan Kurawa. Satu persatu anggota Pandawa jatuh ke tangan Kurawa. Di antara para Pandawa, Bimalah yang paling geram terhadap Kurawa. Namun ia tetap setia kepada keksatriannya, kehormatannya.
Kini tinggalah hanya Yudhistira dan istrinya, Drupadi. Suasana riuh dengan gelak tawa Kurawa yang makin angkara murka. “Masih sanggupkah adinda melanjutkan permainan dadu ini?” tanya Duryudana. “Hamba sudah tak memiliki apa-apa kecuali Drupadi sebagai istri. Apakah kakanda tak memiliki malu untuk meminta Drupadi sebagai taruhan?” tanya Yudhistira. “Ini hanya sebuah permainan adinda, maka kuminta Drupadi menjadi selir Kurawa jika aku menang,” kata Duryudana yakin dan diiringi gelegar tawa Kurawa yang makin memburu, makin licik.
Drupadi tak rela, ia meminta pertanggungjawaban suaminya, Yudhistira. “Benarkah kakanda mau mempertaruhkan hamba? Segala-galanya telah kuperbuat demi kakanda. Apakah kakanda rela, kemuliaan hamba direnggut oleh Kurawa?” tangis Drupadi. Namun muka Yudhistira hanya tertunduk. Tak mampulah ia memandang Drupadi kekasihnya. Demi kehormatannya segalanya harus ia korbankan. Makin pedihlah hati Pandawa lainnya, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Hati mereka sepedih Yudhistira menghadapi situasi dilema.
Dilanjutkanlah permainan dadu yang penuh tipu daya itu. Dan terjadilah kekhawatiran Pandawa. Duryudana menang, dan berhaklah ia atas Drupadi. Tiba-tiba muncullah Dursasana adik Duryudana menarik Drupadi. Memang sedari tadi ialah yang paling menunggu kesempatan ini. Ia ingin bercinta dengan Drupadi yang memang cantik jelita. Wajahnya dipenuhi nafsu angkara murka, ia tarik Drupadi menuju peraduannya. Namun dengan sekuat tenaga Drupadi menolak. Makin bernafsulah Dursasana. Dengan tertawa angkara murka ia cabut penjepit yang menggelung rambut Drupadi dan tergerailah rambut panjangnya. Tak cukup di situ ia lucuti pakaian kebesaran Drupadi sehingga hanya tersisa selembar kain yang melilit tubuhnya. Makin riuhlah suasana yang diwarnai dengan tawa nafsu kejam Kurawa. Para Pandawa hanya bisa menangis pasrah melihat kejadian memalukan itu.
Dursasana makin bernafsu, ia tarik kain yang melilit Drupadi. Jika kain ini habis maka telanjanglah tubuh Drupadi. Makin geramlah Bima.
Rupanya Yang Maha Kuasa di khayangan tak berkenan atas ini. Diberikanlah kain yang melilit Drupadi sebuah keistimewaan. Lilitannya tak akan habis bila terus ditarik. Makin lelah dan marahlah Dursasana. Iapun mengurungkan niatnya untuk mempermalukan Drupadi dan Pandawa. Drupadi yang dendam karena kehormatannya telah dicoba direnggut bersumpah, ia takkan menggelung rambutnya sebelum mandi keramas dengan darah Dursasana. Kelak pada Perang besar Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa, Dursasana mati di tangan Bima. Ia mengambil darah Dursasana untuk diberikan kepada Drupadi.
Pemainan dadu dilanjutkan. Yudhistira akhirnya mempertaruhkan diri sendiri. Ia kalah. Pandawa dan Drupadi menjadi budak Kurawa. Mereka kemudian diasingkan ke hutan oleh Duryudana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar