Minggu, 17 Agustus 2014

Kisah Cerita Dropadi/Drupadi

Dropadi adalah anak yang lahir dari hasil Putrakama Yadnya, yaitu ritual memohon anak dalam wiracarita Mahabarata. Diceritakan setelah Drupada dipermalukan oleh Drona, beliau pergi ke dalam hutan untuk merencanakan balas dendam. Lalu beliau memutuskan untuk mempunyai putra yang akan membunuh Drona, dan seorang putri yang akan menikah dengan Arjuna. Dibantu oleh resi Jaya dan Upajaya, Drupada melaksanakan Putrakama Yadnya dengan sarana api suci. Dropadi lahir dari api suci tersebut.


Dalam kitab Mahabharata versi India dan dalam tradisi pewayangan di Bali, Dewi Dropadi bersuamikan lima orang, yaitu Panca Pandawa. Pernikahan tersebut terjadi setelah para Pandawa mengunjungi Kerajaan Panchala dan mengikuti sayembara di sana. Sayembara tersebut diikuti oleh para kesatria terkemuka di seluruh penjuru daratan Bharatawarsha (India Kuno), seperti misalnya Karna dan Salya. Para Pandawa berkumpul bersama para kesatria lain di arena, namun mereka tidak berpakaian selayaknya seorang kesatria, melainkan menyamar sebagai brahmana. Di tengah-tengah arena ditempatkan sebuah sasaran yang harus dipanah dengan tepat oleh para peserta dan yang berhasil melakukannya akan menjadi suami Dewi Dropadi.
Para peserta pun mencoba untuk memanah sasaran di arena, namun satu per satu gagal. Karna berhasil melakukannya, namun Dropadi menolaknya dengan alasan bahwa ia tidak mau menikah dengan putera seorang kusir. Karna pun kecewa dan perasaannya sangat kesal. Setelah Karna ditolak, Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah sasaran dengan tepat. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, dan sesuai dengan persyaratan, maka Dewi Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun para peserta lainnya menggerutu karena seorang brahmana mengikuti sayembara sedangkan para peserta ingin agar sayembara tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Karena adanya keluhan tersebut maka keributan tak dapat dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sadewa pulang menjaga Dewi Kunti, ibu mereka. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Dropadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.
Setelah keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa serta Dewi Dropadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang berdoa sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang bertarung di arena sayembara. Arjuna dan Bima datang menghadap dan mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta. Dewi Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh. Namun Dewi Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puteranya tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Dewi Kunti tidak mau berdusta maka Dropadi pun menjadi istri Panca Pandawa.

Kisah Cerita Yudhistira

Yudistira adalah putra tertua pasangan Pandu dan Kunti, raja dan ratu dari kalangan Dinasti Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Kitab Mahabharata bagian pertama (Adiparwa) mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika bersetubuh dengan istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan takhta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya. Setelah lama tidak dikaruniai keturunan, Pandu mengutarakan niatnya untuk memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putra darinya tanpa melalui persetubuhan. Putra pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putra sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan.
Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran.

Kisah Cerita Sadewa (Pandawa)

Sahadewa atau Sadewa adalah saudara terakhir dari para Pandawa. Sadewa memiliki saudara kembar yaitu Nakula, mereka juga menjadi tokoh protagonis dalam cerita Mahabarata. Sadewa adalah putera dari Pandu dan Dewi Madri. Sadewa dan saudara kembarnya Nakula dikisahkan sebagai anugerah dari dewa kembar bernama Aswinkepada Dewi Madri, karena Pandu mendapat kutukan dari Resi Kindama bahwa ia akan mati apabila mengawini istrinya.

Sadewa  memiliki sifat yang bijak, bahkan walaupun ia putera yang paling muda dari Para Pandawa, ia adalah yang terbijak. Kakaknya, Yudistira pernah mengatakan bahwa Sadewa lebih bijak daripada Wrehaspati, yaitu guru para dewa.

Sadewa memiliki kepandaian dalam hal ilmu perbintangan atau astronomi. Kepandaiannya jauh di atas murid-murid Resi Drona yang lainnya. Ia mampu mengetahui kejadian yang akan datang, namun ia pernah dikutuk, apabila sampai membeberkan rahasia takdir, maka kepalanya akan terbelah menjadi dua. Ia juga pandai dalam hal ilmu peternakan sapi. Dan pada saat Para Pandawa menjalani masa penyamaran di Kerajaan Matsyakarena kalah bermain dadu dengan Korawa, Sadewa menyamar menjadi seorang gembala sapi bernama Tantripala.

Sadewa menikah dengan puteri Jarasanda,raja Kerajaan Magadha, dan dari pernikahan tersebut, ia memperoleh seorang putera bernama Suhotra, Sedangkan dari Dropadi, yang merupakan istri para Pandawa setelah Arjuna memenangkan sayembara memanah di kerajaan Pancala, Sadewa memiliki putera bernama Srutakirti.

Istri Sadewa versi pewayangan hanya seorang, yaitu Perdapa putri Resi Tambrapetra. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak bernama Niken Sayekti dan Bambang Sabekti. Masing-masing menikah dengan anak-anak Nakula yang bernama Pramusintadan Pramuwati.

Sadewa  juga turut serta dalam peperangan besar di Kurukshetra (Bharatayuddha). Dalam kisah Mahabharata, pada hari ke-18 Sadewa bertempur melawan Sengkuni, dan ia berhasil mengalahkan Sengkuni dengan pedangnya. Sengkuni adalah paman para Korawa dari pihak ibu. Ia licik dan yang memicu permusuhan antara Pandawa dan Korawa, sehingga meletus perangBharatayuddha.

Sadewa juga merupakan tokoh utama dalam Kakawin Sudamala, yaitu karya sastra berbahasa Jawa Kuna peninggalan Kerajaan Majapahit. Dalam naskan ini diceritakan tentang kutukan yang menimpa istri Batara Guru yang bernama Umayi, akibat perbuatannya berselingkuh dengan Batara Brahma.Umayi dikisahkan berubah menjadi Rakshasi bernama Ra Nini, dan hanya bisa kembali ke wujud asal apabila diruwat oleh bungsu Pandawa. Oleh karena itu, Sadewa diculik dan dipaksa untuk memimpin prosesi ruwatan. Setelah dirasuki batara Guru, barulah Sadewa menjalankan permintaan Ra Nini. Kemudian Sadewa mendapat julukan Sudamala yang berarti “menghilangkan penyakit”. Dan dengan petunjuk Ra Nini yang sudah berubah menjadi Umayi, Sadewa pun pergi ke desa Prangalas menikahi putri seorang pertapa bernama Tambrapetra, yang bernama Predapa.

Sadewa meninggal dalam perjalanan ke puncak gunung Himalaya bersama para pandawa dan istri mereka Dropadi. Sadewa meniggal setelah Dropadi. Arwah Sadewa mencapai kedamaian di surga.

Pandawa dan Drupadi Jadi Budak Kurawa (Duryudana)

Rupanya Yang Maha Kuasa di khayangan tak berkenan atas ini. Diberikanlah kain yang melilit Drupadi sebuah keistimewaan. Lilitannya tak akan habis bila terus ditarik. Makin lelah dan marahlah Dursasana. Iapun mengurungkan niatnya untuk mempermalukan Drupadi dan Pandawa. Drupadi yang dendam karena kehormatannya telah dicoba direnggut bersumpah, ia takkan menggelung rambutnya sebelum mandi keramas dengan darah Dursasana. Kelak pada Perang besar Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa, Dursasana mati di tangan Bima. Ia mengambil darah Dursasana untuk diberikan kepada Drupadi.
Pemainan dadu dilanjutkan. Yudhistira akhirnya mempertaruhkan diri sendiri. Ia kalah. Pandawa dan Drupadi menjadi budak Kurawa. Mereka kemudian diasingkan ke hutan oleh Duryudana.

Drupadi Jadi Selir Kurawa

Kini tinggalah hanya Yudhistira dan istrinya, Drupadi. Suasana riuh dengan gelak tawa Kurawa yang makin angkara murka. “Masih sanggupkah adinda melanjutkan permainan dadu ini?” tanya Duryudana. “Hamba sudah tak memiliki apa-apa kecuali Drupadi sebagai istri. Apakah kakanda tak memiliki malu untuk meminta Drupadi sebagai taruhan?” tanya Yudhistira. “Ini hanya sebuah permainan adinda, maka kuminta Drupadi menjadi selir Kurawa jika aku menang,” kata Duryudana yakin dan diiringi gelegar tawa Kurawa yang makin memburu, makin licik.
Drupadi tak rela, ia meminta pertanggungjawaban suaminya, Yudhistira. “Benarkah kakanda mau mempertaruhkan hamba? Segala-galanya telah kuperbuat demi kakanda. Apakah kakanda rela, kemuliaan hamba direnggut oleh Kurawa?” tangis Drupadi. Namun muka Yudhistira hanya tertunduk. Tak mampulah ia memandang Drupadi kekasihnya. Demi kehormatannya segalanya harus ia korbankan. Makin pedihlah hati Pandawa lainnya, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Hati mereka sepedih Yudhistira menghadapi situasi dilema.
Dilanjutkanlah permainan dadu yang penuh tipu daya itu. Dan terjadilah kekhawatiran Pandawa. Duryudana menang, dan berhaklah ia atas Drupadi. Tiba-tiba muncullah Dursasana adik Duryudana menarik Drupadi. Memang sedari tadi ialah yang paling menunggu kesempatan ini. Ia ingin bercinta dengan Drupadi yang memang cantik jelita. Wajahnya dipenuhi nafsu angkara murka, ia tarik Drupadi menuju peraduannya. Namun dengan sekuat tenaga Drupadi menolak. Makin bernafsulah Dursasana. Dengan tertawa angkara murka ia cabut penjepit yang menggelung rambut Drupadi dan tergerailah rambut panjangnya. Tak cukup di situ ia lucuti pakaian kebesaran Drupadi sehingga hanya tersisa selembar kain yang melilit tubuhnya. Makin riuhlah suasana yang diwarnai dengan tawa nafsu kejam Kurawa. Para Pandawa hanya bisa menangis pasrah melihat kejadian memalukan itu.
Dursasana makin bernafsu, ia tarik kain yang melilit Drupadi. Jika kain ini habis maka telanjanglah tubuh Drupadi. Makin geramlah Bima.

Sadewa Arjuna Bima Jadi Budak Duryudana Setelah Kalah main Dadu

Pada awal-awal permainan, Pandawa dan Kurawa saling berganti kemenangan. Suasana terlihat akrab dan diselingi canda tawa. Tiba-tiba Duryudana berkata,” Adinda Pandawa, tak serulah permainan kita dengan taruhan yang kecil. Beranikah adinda bertaruh dengan taruhan yang lebih besar?” Pandawa tertegun. “Apa maksud Kakanda Duryudana?” tanya Yudhistira. “Bagaimana bila kita mempertaruhkan negeri kita, jika kali ini adinda menang maka aku serahkan Astina kepada adinda namun jika aku yang menang maka aku berhak memiliki Negeri Amarta. Pandawa kaget bukan kepalang, mereka mulai tersadar jika sudah masuk perangkap Kurawa. Namun mereka tak mampu menolak. Ajakan bermain dadu adalah sebuah kehormatan. Seorang ksatria tak boleh melawan kehormatannya. Sekarang mereka hanya bisa pasrah menghadapi keadaan. “Bolehlah, kakanda, tapi apa maksud Kakanda Duryudana sebenarnya?” tanya Yudhistira. “Aku hanya berniat membuat permainan kita makin seru saja adinda,” jawab Duryudana dengan ramah namun menyimpan kelicikan.
Dilanjutkanlah permainan dadu mereka dengan mempertaruhkan negeri Astina dan Amarta. Dan benar, setelah dadu dikocok dan dijatuhkan angka yang muncul memihak Kurawa. Wajah para Pandawa pucat bukan kepalang. Di sisi lain para Kurawa tertawa tergelak dan mulai menampakkan watak angkara murka mereka. Disertai senyum licik Patih Sangkuni. “Jadi, Negeri Amarta menjadi milikku sekarang,” kata Duryudana sambil tertawa.
“Apakah adinda sanggup untuk melanjutkan permainan?” tanya Duryudana. “Tapi aku sudah tak memiliki harta apapun kakanda,” jawab Yudhistira terbata-bata. “Bukankah adinda, masih memiliki Sadewa? Ia bisa dijadikan taruhan.” tanya Duryudana licik. Makin kagetlah Pandawa. Tak mungkin persaudaraan mereka dipertaruhkan. Namun kehormatan adalah di atas segala-galanya. Tiba-tiba Sadewa berkata,” Hamba rela dipertaruhkan demi kehormatan.” Yudhistira tertegun. “Benarkah adinda berkata demikian?” tanya Yudhistira tak percaya. “Benar kakanda. Semoga setelah ini kita bisa menang dan berkumpul kembali,” jawab Sadewa tegar. Maka dipertaruhkanlah Sadewa. Sudah dapat dipastikan Kurawa kembali menang dan Sadewa jatuh menjadi budak Kurawa. Permainan dadu terus berlanjut dengan kemenangan Kurawa. Satu persatu anggota Pandawa jatuh ke tangan Kurawa. Di antara para Pandawa, Bimalah yang paling geram terhadap Kurawa. Namun ia tetap setia kepada keksatriannya, kehormatannya.

Pandawa Kalah Main Dadu

Keutuhan keluarga kerapkali hancur karena iri dengki. Para Kurawa selalu iri dengan adik-adik sepupu mereka, Pandawa. Alam pikir Kurawa selalu dipenuhi rencana untuk menyingkirkan Pandawa yang berbakat kanuragan dan berhati lurus. Jadi, jika ada tingkah polah Kurawa yang bermanis-manis kepada Pandawa sebenarnya itu hanyalah sebuah tipu daya.
Kurawa masih saja iri dengan Pandawa sepeninggal Negeri Astina dibagi dua untuk Kurawa dan Pandawa. Satu tetap menjadi Astina dengan Duryudana menjadi raja, si sulung Kurawa. Yang satunya dinamai Negeri Amarta dengan Yudhistira si sulung Pandawa yang menjadi raja. Sekali lagi, Kurawa menyusun rencana untuk menyingkirkan Pandawa. Rencana untuk berperang urung dilakukan karena Kurawa kalah ilmu kanuragan dibanding Pandawa. Jika mau, anak panah Arjuna si Pandawa ketiga mampu menghabisi seluruh Kurawa yang berjumlah seratus orang dengan sekali tarikan gendewa. Atau satu hentakan telapak kaki Bima sang Pandawa kedua mampu merobohkan istana Astina milik Kurawa.
Tak ada cara lain selain tipu daya. Patih licik Astina, Sangkuni mengusulkan rencana untuk mengajak Pandawa main dadu. Kala itu, undangan main dadu dari seorang raja ke raja lain adalah sebuah kehormatan, jadi tak mungkin ajakan itu ditolak. Begitu pikir Sangkuni. Kurawa pun setuju. Tentu saja dadu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga selalu menuruti tebakan Kurawa. Maka dibuatlah undangan bermain dadu kepada Pandawa.
Undangan itu sampailah ke Pandawa. Arjuna menaruh curiga.,” Kakanda Yudhistira, tak biasanya para Kakanda Kurawa berbaik hati begini rupa? Hamba curiga.” Ia bertanya kepada Yudhistira. “Para kakanda Kurawa selalu berniat buruk pada kita,” sambung Bima. Namun Yudhistira adalah satria yang bijaksana. Hatinya lurus dan tanpa prasangka. Ia berpikir undangan itu adalah sebuah kehormatan bagi Pandawa dan harus diterima. “Undangan ini harus diterima, ini adalah sebuah kehormatan. Mungkin para Kakanda Kurawa sudah lurus hatinya. Para adinda harus percaya kebaikan takkan takluk pada kejahatan dan angkara murka,” jawab Yudhistira mengakhiri pembicaraan. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa menuruti kehendak junjungan mereka, Yudhistira.
Boyonganlah para Pandawa ke Negeri Astina. Drupadi, istri Yudhistira yang ia sunting dari Negeri Pancala diajak serta. Tak lupa harta dan perhiasan sebagai taruhan dibawa pula. Sampailah mereka ke Negeri Astina disambut para Kurawa yang nampak ramah tapi dalam hati tersenyum menyeringai karena angkara murka. Dimulailah permainan dadu setelah jamuan makan dan keakraban.
Pada awal-awal permainan, Pandawa dan Kurawa saling berganti kemenangan. Suasana terlihat akrab dan diselingi canda tawa. Tiba-tiba Duryudana berkata,” Adinda Pandawa, tak serulah permainan kita dengan taruhan yang kecil. Beranikah adinda bertaruh dengan taruhan yang lebih besar?” Pandawa tertegun. “Apa maksud Kakanda Duryudana?” tanya Yudhistira. “Bagaimana bila kita mempertaruhkan negeri kita, jika kali ini adinda menang maka aku serahkan Astina kepada adinda namun jika aku yang menang maka aku berhak memiliki Negeri Amarta. Pandawa kaget bukan kepalang, mereka mulai tersadar jika sudah masuk perangkap Kurawa. Namun mereka tak mampu menolak. Ajakan bermain dadu adalah sebuah kehormatan. Seorang ksatria tak boleh melawan kehormatannya. Sekarang mereka hanya bisa pasrah menghadapi keadaan. “Bolehlah, kakanda, tapi apa maksud Kakanda Duryudana sebenarnya?” tanya Yudhistira. “Aku hanya berniat membuat permainan kita makin seru saja adinda,” jawab Duryudana dengan ramah namun menyimpan kelicikan.
Dilanjutkanlah permainan dadu mereka dengan mempertaruhkan negeri Astina dan Amarta. Dan benar, setelah dadu dikocok dan dijatuhkan angka yang muncul memihak Kurawa. Wajah para Pandawa pucat bukan kepalang. Di sisi lain para Kurawa tertawa tergelak dan mulai menampakkan watak angkara murka mereka. Disertai senyum licik Patih Sangkuni. “Jadi, Negeri Amarta menjadi milikku sekarang,” kata Duryudana sambil tertawa.
“Apakah adinda sanggup untuk melanjutkan permainan?” tanya Duryudana. “Tapi aku sudah tak memiliki harta apapun kakanda,” jawab Yudhistira terbata-bata. “Bukankah adinda, masih memiliki Sadewa? Ia bisa dijadikan taruhan.” tanya Duryudana licik. Makin kagetlah Pandawa. Tak mungkin persaudaraan mereka dipertaruhkan. Namun kehormatan adalah di atas segala-galanya. Tiba-tiba Sadewa berkata,” Hamba rela dipertaruhkan demi kehormatan.” Yudhistira tertegun. “Benarkah adinda berkata demikian?” tanya Yudhistira tak percaya. “Benar kakanda. Semoga setelah ini kita bisa menang dan berkumpul kembali,” jawab Sadewa tegar. Maka dipertaruhkanlah Sadewa. Sudah dapat dipastikan Kurawa kembali menang dan Sadewa jatuh menjadi budak Kurawa. Permainan dadu terus berlanjut dengan kemenangan Kurawa. Satu persatu anggota Pandawa jatuh ke tangan Kurawa. Di antara para Pandawa, Bimalah yang paling geram terhadap Kurawa. Namun ia tetap setia kepada keksatriannya, kehormatannya.
Kini tinggalah hanya Yudhistira dan istrinya, Drupadi. Suasana riuh dengan gelak tawa Kurawa yang makin angkara murka. “Masih sanggupkah adinda melanjutkan permainan dadu ini?” tanya Duryudana. “Hamba sudah tak memiliki apa-apa kecuali Drupadi sebagai istri. Apakah kakanda tak memiliki malu untuk meminta Drupadi sebagai taruhan?” tanya Yudhistira. “Ini hanya sebuah permainan adinda, maka kuminta Drupadi menjadi selir Kurawa jika aku menang,” kata Duryudana yakin dan diiringi gelegar tawa Kurawa yang makin memburu, makin licik.
Drupadi tak rela, ia meminta pertanggungjawaban suaminya, Yudhistira. “Benarkah kakanda mau mempertaruhkan hamba? Segala-galanya telah kuperbuat demi kakanda. Apakah kakanda rela, kemuliaan hamba direnggut oleh Kurawa?” tangis Drupadi. Namun muka Yudhistira hanya tertunduk. Tak mampulah ia memandang Drupadi kekasihnya. Demi kehormatannya segalanya harus ia korbankan. Makin pedihlah hati Pandawa lainnya, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Hati mereka sepedih Yudhistira menghadapi situasi dilema.
Dilanjutkanlah permainan dadu yang penuh tipu daya itu. Dan terjadilah kekhawatiran Pandawa. Duryudana menang, dan berhaklah ia atas Drupadi. Tiba-tiba muncullah Dursasana adik Duryudana menarik Drupadi. Memang sedari tadi ialah yang paling menunggu kesempatan ini. Ia ingin bercinta dengan Drupadi yang memang cantik jelita. Wajahnya dipenuhi nafsu angkara murka, ia tarik Drupadi menuju peraduannya. Namun dengan sekuat tenaga Drupadi menolak. Makin bernafsulah Dursasana. Dengan tertawa angkara murka ia cabut penjepit yang menggelung rambut Drupadi dan tergerailah rambut panjangnya. Tak cukup di situ ia lucuti pakaian kebesaran Drupadi sehingga hanya tersisa selembar kain yang melilit tubuhnya. Makin riuhlah suasana yang diwarnai dengan tawa nafsu kejam Kurawa. Para Pandawa hanya bisa menangis pasrah melihat kejadian memalukan itu.
Dursasana makin bernafsu, ia tarik kain yang melilit Drupadi. Jika kain ini habis maka telanjanglah tubuh Drupadi. Makin geramlah Bima.
Rupanya Yang Maha Kuasa di khayangan tak berkenan atas ini. Diberikanlah kain yang melilit Drupadi sebuah keistimewaan. Lilitannya tak akan habis bila terus ditarik. Makin lelah dan marahlah Dursasana. Iapun mengurungkan niatnya untuk mempermalukan Drupadi dan Pandawa. Drupadi yang dendam karena kehormatannya telah dicoba direnggut bersumpah, ia takkan menggelung rambutnya sebelum mandi keramas dengan darah Dursasana. Kelak pada Perang besar Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa, Dursasana mati di tangan Bima. Ia mengambil darah Dursasana untuk diberikan kepada Drupadi.
Pemainan dadu dilanjutkan. Yudhistira akhirnya mempertaruhkan diri sendiri. Ia kalah. Pandawa dan Drupadi menjadi budak Kurawa. Mereka kemudian diasingkan ke hutan oleh Duryudana.