Kini tinggalah hanya Yudhistira dan istrinya, Drupadi. Suasana riuh
dengan gelak tawa Kurawa yang makin angkara murka. “Masih sanggupkah
adinda melanjutkan permainan dadu ini?” tanya Duryudana. “Hamba sudah
tak memiliki apa-apa kecuali Drupadi sebagai istri. Apakah kakanda tak
memiliki malu untuk meminta Drupadi sebagai taruhan?” tanya Yudhistira.
“Ini hanya sebuah permainan adinda, maka kuminta Drupadi menjadi selir
Kurawa jika aku menang,” kata Duryudana yakin dan diiringi gelegar tawa
Kurawa yang makin memburu, makin licik.
Drupadi tak rela, ia meminta pertanggungjawaban suaminya, Yudhistira.
“Benarkah kakanda mau mempertaruhkan hamba? Segala-galanya telah
kuperbuat demi kakanda. Apakah kakanda rela, kemuliaan hamba direnggut
oleh Kurawa?” tangis Drupadi. Namun muka Yudhistira hanya tertunduk. Tak
mampulah ia memandang Drupadi kekasihnya. Demi kehormatannya segalanya
harus ia korbankan. Makin pedihlah hati Pandawa lainnya, Bima, Arjuna,
Nakula dan Sadewa. Hati mereka sepedih Yudhistira menghadapi situasi
dilema.
Dilanjutkanlah permainan dadu yang penuh tipu daya itu. Dan
terjadilah kekhawatiran Pandawa. Duryudana menang, dan berhaklah ia atas
Drupadi. Tiba-tiba muncullah Dursasana adik Duryudana menarik Drupadi.
Memang sedari tadi ialah yang paling menunggu kesempatan ini. Ia ingin
bercinta dengan Drupadi yang memang cantik jelita. Wajahnya dipenuhi
nafsu angkara murka, ia tarik Drupadi menuju peraduannya. Namun dengan
sekuat tenaga Drupadi menolak. Makin bernafsulah Dursasana. Dengan
tertawa angkara murka ia cabut penjepit yang menggelung rambut Drupadi
dan tergerailah rambut panjangnya. Tak cukup di situ ia lucuti pakaian
kebesaran Drupadi sehingga hanya tersisa selembar kain yang melilit
tubuhnya. Makin riuhlah suasana yang diwarnai dengan tawa nafsu kejam
Kurawa. Para Pandawa hanya bisa menangis pasrah melihat kejadian
memalukan itu.
Dursasana makin bernafsu, ia tarik kain yang melilit Drupadi. Jika
kain ini habis maka telanjanglah tubuh Drupadi. Makin geramlah Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar